Karena Sahabat hanya Penyemangat
Karena Sahabat hanya Penyemangat
Cerpen Karangan: Aulia Taureza
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 11 April 2017
Namaku Aruna, teman-teman menganggapku sosok yang nyaris sempurna, padahal tidak begitu. Papaku memulai usahanya sepuluh tahun yang lalu dan Coaming Dananjaya Center adalah perusahaan programmer terbaik di Bandung. Mama, wanita karier yang menjalani hidupnya di depan laptop siang dan malam di salah satu perusahaan favorit di Jakarta, heran tidak kenapa mama tidak menjadi ibu rumah tangga saja? Atau tidak bekerja di perusahaan papa?
Semua anggapan bahwa hidupku nyaris sempurna sirna seketika, ketika aku melihat mama yang meninggalkanku dengan papa dua tahun yang lalu, dan ketika papa memiliki istri dua bulan yang lalu, seolah membuatku layu, iya aku layu, aku tak tau siapa penopangku disaat aku layu seperti ini.
“Run, nanti pulang sekolah ke mall yuk! Ada diskon gede” Catherine, temanku blasteran Indo-Belanda ini sudah berdiri di depanku ketika jam bel istirahat pertama dimulai, padahal aku masih sibuk dengan soal kimia.
Aku menyibakkan rambut panjangku yang tergerai, mengusap peluh di sana dan segera menutup buku kimia.
“Cat, kayaknya aku udah gak bisa temenan sama kalian lagi” Florenna, gadis berambut pirang yang berdiri di samping Catherine ini membulatkan matanya,
“Kenapa? Papa kamu udah gak sanggup biayain kamu?” Ingin sekali aku membalas cibiran dari mulut Florenna, gadis tak tau malu itu, tapi aku cuma mengembuskan napas menatap Catherine.
“Apa alasanmu tak mau berteman denganku?” Kali ini Catherine berkata sambil berdiri
Aku diam, aku sama sekali belum menyiapkan sepatah kata pun padanya, Catherine -dia temanku sejak kelas 10 dan sekarang kita sudah kelas 12.
Hingga akhirnya Catherine dan Florenna meninggalkanku yang masih terpaku di bangkuku.

Dua bulan aku dan Catherine tak saling tegur, Catherine adalah anak populer di sekolah, dia kapten cheersleader, dia penyanyi terbaik dan pemain piano yang baik. Berada di sampingnya merupakan keberuntungan dalam hidupku, semenjak aku mengenalnya, semua orang jadi mengenalku, aku yang sebelumnya pendiam menjadi orang paling populer di samping Catherine.
Tidak, yang tidak kudapatkan ketika bersamanya hanya satu, aku tidak bisa menjadi diriku sendiri.
Catherine, gadis itu yang sesungguhnya sempurna, bukan aku, aku hanya orang pengecut yang gak pernah nyeritain apa isi hatiku padanya, aku selalu menutupi rasa ketidak-nyamananku ketika Floren datang, Florenna -anak baru asli Swedia yang merebut posisiku di mata Catherine setengah tahun yang lalu.
“Sayang, kenapa kamu?” Papa, iya ucapan lembutnya membuyarkan lamunanku.
“Kalau boleh aku putar waktu, aku gak bakal mati-matian minta sekolah di Senior High School International Lite, pa”
“Loh? Bukannya itu cita-cita kamu? Dan kamu pingin nerusin kuliah di Amerika?”
“Maafin Aruna ya, pa! Selama ini Aruna tersesat jauh banget, Aruna tidak tau harus bicara sama siapa, cuma papa yang Arun punya. Aruna akhir-akhir ini nggak kayak dulu, Aruna sering minta banyak uang ke papa, Aruna sering keluar rumah, tapi aku janji, kelas tiga aku bakal jadi pendiem lagi dan aku usaha mati-matian buat ngejar ke Amrik”
“Papa selalu support kamu, sayang. Belajar yang rajin!”
“Pa, penting mana sih sahabat atau cita-cita”
“Semakin kamu sukses, semakin kamu tidak bisa membedakan mana sahabat mana musuh”
“Tapi Aruna pingin punya sahabat baik kayak di cerpen-cerpen favoritku”
“Sahabat itu emang ada, tapi sebenarnya yang lebih penting itu bagaimana kita menjadi yang terbaik buat sahabat, bukan mencari sahabat yang terbaik”
“Dan sahabat yang baik itu pasti bisa membawamu ke arah yang lebih baik, bukan memaksamu untuk menuju ke arah yang lebih baik.” Lanjut papa, aku tersenyum puas sebelum papa mencium pucuk keningku dan memnyelimuti tubuhku lalu mematikan lampu kamarku.
Aku tersenyum lagi ketika mendengar suara pintu itu ditutup.
Bulan dan bintang malam itu menjadi saksi hatiku, aku tidak menyesal telah meninggalkan teman-temanku, sebenarnya aku memanglah sendiri dan sampai kapanpun aku memanglah sendiri. Cuma aku yang paling mengerti perasaanku, sisanya mereka yang bisa menyemangatiku (sahabat).
Dan benar Catherine bukan sahabat terbaikku, karena dia memaksaku untuk ikut dalam kehidupannya bukan menggiringku untuk mengetahui jati diriku. Karena sahabat hanya penyemangat, bukan jelmaan diriku.
Cerpen Karangan: Aulia Taureza
Sumber :http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/karena-sahabat-hanya-penyemangat.html
Cerpen Karangan: Aulia Taureza
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 11 April 2017
Namaku Aruna, teman-teman menganggapku sosok yang nyaris sempurna, padahal tidak begitu. Papaku memulai usahanya sepuluh tahun yang lalu dan Coaming Dananjaya Center adalah perusahaan programmer terbaik di Bandung. Mama, wanita karier yang menjalani hidupnya di depan laptop siang dan malam di salah satu perusahaan favorit di Jakarta, heran tidak kenapa mama tidak menjadi ibu rumah tangga saja? Atau tidak bekerja di perusahaan papa?
Semua anggapan bahwa hidupku nyaris sempurna sirna seketika, ketika aku melihat mama yang meninggalkanku dengan papa dua tahun yang lalu, dan ketika papa memiliki istri dua bulan yang lalu, seolah membuatku layu, iya aku layu, aku tak tau siapa penopangku disaat aku layu seperti ini.
“Run, nanti pulang sekolah ke mall yuk! Ada diskon gede” Catherine, temanku blasteran Indo-Belanda ini sudah berdiri di depanku ketika jam bel istirahat pertama dimulai, padahal aku masih sibuk dengan soal kimia.
Aku menyibakkan rambut panjangku yang tergerai, mengusap peluh di sana dan segera menutup buku kimia.
“Cat, kayaknya aku udah gak bisa temenan sama kalian lagi” Florenna, gadis berambut pirang yang berdiri di samping Catherine ini membulatkan matanya,
“Kenapa? Papa kamu udah gak sanggup biayain kamu?” Ingin sekali aku membalas cibiran dari mulut Florenna, gadis tak tau malu itu, tapi aku cuma mengembuskan napas menatap Catherine.
“Apa alasanmu tak mau berteman denganku?” Kali ini Catherine berkata sambil berdiri
Aku diam, aku sama sekali belum menyiapkan sepatah kata pun padanya, Catherine -dia temanku sejak kelas 10 dan sekarang kita sudah kelas 12.
Hingga akhirnya Catherine dan Florenna meninggalkanku yang masih terpaku di bangkuku.

Dua bulan aku dan Catherine tak saling tegur, Catherine adalah anak populer di sekolah, dia kapten cheersleader, dia penyanyi terbaik dan pemain piano yang baik. Berada di sampingnya merupakan keberuntungan dalam hidupku, semenjak aku mengenalnya, semua orang jadi mengenalku, aku yang sebelumnya pendiam menjadi orang paling populer di samping Catherine.
Tidak, yang tidak kudapatkan ketika bersamanya hanya satu, aku tidak bisa menjadi diriku sendiri.
Catherine, gadis itu yang sesungguhnya sempurna, bukan aku, aku hanya orang pengecut yang gak pernah nyeritain apa isi hatiku padanya, aku selalu menutupi rasa ketidak-nyamananku ketika Floren datang, Florenna -anak baru asli Swedia yang merebut posisiku di mata Catherine setengah tahun yang lalu.
“Sayang, kenapa kamu?” Papa, iya ucapan lembutnya membuyarkan lamunanku.
“Kalau boleh aku putar waktu, aku gak bakal mati-matian minta sekolah di Senior High School International Lite, pa”
“Loh? Bukannya itu cita-cita kamu? Dan kamu pingin nerusin kuliah di Amerika?”
“Maafin Aruna ya, pa! Selama ini Aruna tersesat jauh banget, Aruna tidak tau harus bicara sama siapa, cuma papa yang Arun punya. Aruna akhir-akhir ini nggak kayak dulu, Aruna sering minta banyak uang ke papa, Aruna sering keluar rumah, tapi aku janji, kelas tiga aku bakal jadi pendiem lagi dan aku usaha mati-matian buat ngejar ke Amrik”
“Papa selalu support kamu, sayang. Belajar yang rajin!”
“Pa, penting mana sih sahabat atau cita-cita”
“Semakin kamu sukses, semakin kamu tidak bisa membedakan mana sahabat mana musuh”
“Tapi Aruna pingin punya sahabat baik kayak di cerpen-cerpen favoritku”
“Sahabat itu emang ada, tapi sebenarnya yang lebih penting itu bagaimana kita menjadi yang terbaik buat sahabat, bukan mencari sahabat yang terbaik”
“Dan sahabat yang baik itu pasti bisa membawamu ke arah yang lebih baik, bukan memaksamu untuk menuju ke arah yang lebih baik.” Lanjut papa, aku tersenyum puas sebelum papa mencium pucuk keningku dan memnyelimuti tubuhku lalu mematikan lampu kamarku.
Aku tersenyum lagi ketika mendengar suara pintu itu ditutup.
Bulan dan bintang malam itu menjadi saksi hatiku, aku tidak menyesal telah meninggalkan teman-temanku, sebenarnya aku memanglah sendiri dan sampai kapanpun aku memanglah sendiri. Cuma aku yang paling mengerti perasaanku, sisanya mereka yang bisa menyemangatiku (sahabat).
Dan benar Catherine bukan sahabat terbaikku, karena dia memaksaku untuk ikut dalam kehidupannya bukan menggiringku untuk mengetahui jati diriku. Karena sahabat hanya penyemangat, bukan jelmaan diriku.
Cerpen Karangan: Aulia Taureza
Sumber :http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/karena-sahabat-hanya-penyemangat.html
Komentar
Posting Komentar